Saturday, 10 March 2012

Selama 5 Tahun Ini...

Stigmatized dari The Calling meraung dalam. Aku terbuai. Dalam dan dalam….
Terpejam mataku sejenak, terlintas kenangan itu.

Kau sedang serius memegang mouse, aku panggil kau malah tambah asik memainkan mouse itu.
“Mas!”, panggilku agak keras. Akhirnya kau menoleh. Ya Tuhan! Makhluk apa ini? Bentuk mukanya keras, kulit putih bersih tanpa jerawat ataupun bekasnya, mata tajam dengan tatapan dalam memandangku dengan tanya.
“Kenapa mbak?”. Suara itu! Hahaha… Hatiku bernyanyi mendengarnya. Menusuk hatiku dalam…! Lembut dan berwibawa. Ya ampun, aku bisa pingsan karenanya.
“Berapa?” akhirnya mulutku terbuka.
“Rp 7.000”. Jawabnya sambil melihat layar monitor. Kuraba-raba isi tasku mencari dompet sambil mata ini tak lepas memperhatikannya. Aku baru tersadar kalau mulutku ternyata terbuka setelah ada lalat dengan kurang ajarnya mampir menempel di bibir bawahku. Asem!
Aku berikan uang pecahan Rp 10.000 dan dia memberikan kembalian dengan mengucapkan terima kasih. Kata terakhir yang kudengar saat itu dari mulutnya.

Hari berikutnya hampir tiap hari aku datang ke warnet itu sepulang sekolah, sengaja aku datang sendiri agar tidak ada yang mengganggu kepuasanku menikmati salah satu ciptaan Tuhan yang satu ini. Dia mulai jaga warnet pukul 3 sore. Aku selalu datang jam dua, dan pulang saat dia sudah bertugas. Aku akan bolak balik membeli minuman atau makanan yang tersedia disitu agar aku bisa berinteraksi dengannya berkali-kali. Agar dia juga memperhatikan aku sebagai pelanggannya yang setia datang tiap hari.


Akhirnya dia mengetahui namaku karena waktu itu aku meminta dia memasukkan data dari flashdiskku. Nama flashdiskku adalah namaku sendiri.
“Oh, namanya Intan?” begitu ucapnya sambil tersenyum. Aku kegirangan sambil menjawab “Iya”. Semalaman aku tidak bisa tidur memikirkan kejadian itu.

Tidak ada yang tahu kalau aku sedang jatuh cinta. Bahkan teman terdekatku sekalipun. Aku menyimpannya rapat-rapat. Aku menikmati kesendirian ini, sendiri aku bisa memikirkannya tanpa ada rasa bosan sedikitpun. Tanpa ada pendapat-pendapat yang memusingkan kepalaku. Aku akan menikmati semua ini sendirian.

“Tan, kemarin aku ke warnet di dekat kantor pos, ternyata yang jaga gantengnya…, gila!” Aku kaget mendengarnya, sudah bisa dipastikan bahwa yang Kiki maksud adalah pangeranku. Aku merengut jadinya.
“Pulang sekolah kita kesana yuk! Aku pengen kenalan, kemarin aku belum sempat tahu namanya.” Ajak Kiki semangat. Aku menolaknya dengan alasan harus pulang cepat karena mau pergi dengan ibuku. Aku tidak mau Kiki tahu kalau aku sangat mengagumi penjaga warnet yang ganteng itu. Sekali lagi, aku akan membiarkan rasa ini kunikmati sendiri.

Setelah kejadian itu, Kiki selalu cerita kalau hampir tiap pulang sekolah dia datang ke warnet itu. Apa yang dia lakukan sama dengan apa yang aku lakukan sebelumnya. Sekarang aku mengubah jadwalku menjadi datang pukul 5 sore dan pulang saat maghrib menjelang.

Sudah 3 bulan aku melakoni peran sebagai pelanggan setia di warnet itu.  Selama itu aku belum pernah mengobrol dengan pangeranku itu. Komunikasi kami hanya kata ‘berapa’ dan ‘terima kasih’. Kenapa aku betah dengan keadaan seperti ini? Mungkin sekarang Kiki telah mengenalnya, atau bahkan telah berhasil mengajaknya jalan. Haduh… Aku lihat sekarang Kiki seperti orang yang sedang jatuh cinta. Dan aku malas untuk bertanya, aku takut kalau pangeranku telah dimilikinya.

Pangeran itu bernama Dika. Mungkin diambil dari kata Andika. Suaranya yang dalam dan berwibawa membuatku menebak bahwa dia mempunyai sifat sabar dan bisa mengayomi. Arti Andika sendiri adalah kehormatan tertinggi yang dimiliki oleh raja-raja, membuatku menyimpulkan bahwa dia pasti selalu menjaga kehormatannya. Kulit putih bersihnya menandakan bahwa dia orang yang cinta kebersihan. Wajah kerasnya menggambarkan bahwa dia orang yang kuat dalam mengambil keputusan. Dan mata tajamnya semakin menegaskan bahwa dia orang yang kuat pendirian. Aku selalu memikirkannya setiap detik. Pangeranku yang tak ingin aku rusak. Biarkan aku hanya menikmati keindahanmu dari kejauhan.

Puluhan sketsa wajahmu memenuhi buku gambarku. Aku sering sekali membuatnya sebelum aku tidur. Wajah seriusmu, tawamu, senyummu, wajah cemberutmu, sketsa dari samping, dari depan, hampir semua sudah aku buat. Pensil gambarku cepat habis karena garis wajahmu yang sangat tegas menjadikan aku harus memulasnya dalam-dalam. Kau orang yang sangat kuat. Aku yakin itu.

Suatu sore, seperti biasa aku datang ke warnet itu, begitu memarkirkan sepeda motor aku tidak langsung masuk karena kudengar suara yang mencurigakan. Suara perempuan yang sedang tertawa-tawa diiringi dengan suaramu yang juga sedang tertawa. Jantungku berdegup kencang. Kuintip dari pintu, ternyata kau sedang duduk dengan seorang gadis manis, sepertinya anak kuliahan. Langsung aku urungkan niatku untuk ke warnet. Kembali pulang dengan perasaan kecewa.

Seminggu aku tidak menemuimu, aku masih sakit hati. Aku hanya memandang sketsa wajahmu. Kuputuskan untuk berhenti menemuimu.

Minggu kedua dari pemogokanku, aku masih bertahan. Tetapi tiba-tiba aku mendengar dari Kiki bahwa penjaga warnet yang ganteng itu sudah berhenti kerja. Penjaga warnet yang ganteng itu katanya sedang mencari pekerjaan yang lebih baik di Jakarta. Mendengar hal itu aku menyesal begitu dalam. Aku langsung kehilangan gairah belajarku. Dengan lemah, akhirnya aku meminta ijin untuk pulang.

Di dalam kamar aku menangis sejadi-jadinya. Aku hanya mogok sementara!! Kenapa malah dia yang mogok selamanya? Jangan berhenti mewarnai hariku dengan pesonamu… Bagaimana aku bisa menemukanmu kembali? Bodohnya diriku yang telah begitu sakit hati melihatmu dengan seorang perempuan yang belum tentu adalah kekasihmu. Aku sangat menyesal telah menjauhimu selama ini.

Kembali aku datang ke warnet itu, hati ini terasa kosong begitu memasuki pintu. Di depan computer nampak seorang perempuan tengah mengetik. Dia benar-benar sudah pergi. Aku tak kuasa memandang kursi dan meja dimana dia biasa menggunakannya selama bekerja. Akhirnya aku berbalik dan pergi.

Seminggu sekali aku datang ke warnet itu setelah perasaanku sedikit bisa kutata. Aku datang dengan harapan akan mendapatkanmu duduk di kursi operator itu. Memegang mouse dan memandang  layar monitor dengan wajah serius. Aku sangat merindukanmu…. Hati ini sakit sekali setiap kali mengingatmu. Aku menyesal telah membiarkan semua ini hanya kunikmati sendiri. Aku menyesal telah mengira bahwa kepuasan itu akan lama dapat aku rasakan. Aku belum bosan Dika! Aku masih ingin mengagumimu.


Saat itu aku tengah duduk di lobi kampusku menunggu temanku Lia untuk masuk kelas pemasaran. Sekarang aku telah menjadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Jakarta. Rasa yang pertama kali muncul begitu aku diterima di PTN ini adalah harapan untuk bertemu denganmu pangeranku. Aku bawa buku gambar yang berisikan sketsa wajahmu itu dalam tasku setiap hari. Aku belum bosan.

Tidak ada seorangpun yang pernah melihat buku gambar ini. Aku ingin kau menjadi satu-satunya orang yang akan melihatnya selain aku. Akan aku serahkan buku ini seandainya aku bisa bertemu denganmu lagi. Saat ini kuliahku memasuki semester 5, buku itu menjadi sangat lusuh. Warnanya pun pudar menjadi agak kekuningan. Tapi garis wajahmu tetap sama, tetap tegas. Hanya ini yang bisa mengingatkanku akan sosok dirimu, pangeran negeri dongengku.

Sekarang aku menjadi perempuan yang sudah bisa berpikir harus bagaimana meraih impianku. Aku tidak malu lagi menanyakan kepada seseorang yang sekiranya tahu keberadaanmu. Tapi ternyata keberanianku terlambat, warnet itu sekarang sudah tutup dan tidak ada seorangpun yang bisa aku tanyai. Bodoh sekali aku! Kembali aku menyesal.


Aku dan Lia tengah mengerjakan tugas kuliah di kamar kosku. Tanpa sengaja Lia melihat buku gambar itu saat dia sedang mencari pensil di dalam tas ku. Aku temukan dia sedang membolak-balik lembar demi lembar buku gambar itu ketika aku datang setelah membeli makanan kecil di minimarket depan kos. Seketika aku merebut buku itu dari tangannya. Harapan sakral itu telah ternoda. Ada orang lain yang melihat buku gambar itu selain kamu!
Lia melihat reaksiku dengan keheranan. Kemudian aku meminta maaf dan menjelaskan bahwa buku itu adalah salah satu privasiku. Dia bisa memaklumi, tapi tak lama kemudian dia mengatakan sesuatu yang mengejutkanku.

“Rasanya aku pernah melihat orang yang mirip dengan yang ada di buku itu deh”, ucapnya sambil mengusap-usap dagu.
“Yang benar?” tanyaku datar.
“Iya benar! Dia sering aku lihat di dekat mall di daerah Kelapa Gading.” Ucapnya kegirangan karena berhasil mengingat. Mau tidak mau aku langsung memandangnya dengan tajam.
“Apa? Kamu yakin?” Tak dapat kusembunyikan rasa ingin tahuku.
“Benar itu dia, karena aku sudah lama memperhatikannya setiap kali aku ke mall itu. Rumahku kan di Kelapa Gading.”

Kemudian Lia menceritakan pertemuannya dengan laki-laki yang dia sebut mirip dengan pangeranku itu. Lia selalu melihat laki-laki itu tengah berada di kumpulan anak-anak punk, dandanannya juga seperti layaknya anak punk, meskipun begitu, ketampanannya tidak hilang. Lia terpesona karena ada anak punk bisa tetap kelihatan tampan dengan baju kumal dan rambut acak-acakan.

Aku melongo mendengarnya, tidak mungkin, batinku.
Lia memaksaku untuk bercerita tentang siapa sebenarnya pria yang ada dalam buku gambar ku itu. Akhirnya aku bercerita kepadanya sampai akhirnya aku menangis tersedu-sedu. Menceritakan kepada orang lain tentang kisahku ini ternyata sangat melegakan. Hati ini terasa lapang karena telah melepas beban berat yang selama ini aku tanggung sendiri. Kami merencanakan akan pergi mencari pria itu hari Minggu.

Dengan cemas aku terus memperhatikan sekeliling tempatku berdiri, kami telah berada di tempat biasa Lia melihat pria itu. Tapi siang itu sepi, hanya ada dua pedagang kaki lima yang mangkal disitu. Kemudian Lia menarik tanganku mendekati pedagang rokok yang ada disitu dan menanyakan perihal keberadaan anak-anak punk yang biasa berkumpul di tempat itu. Pedagang itu menjelaskan bahwa sekarang sedang ada konser band punk di Ancol jadi anak-anak itu pasti sedang menonton konser.  Aku langsung memanggil taksi untuk meluncur ke Ancol. Lia kaget dengan cepatnya reaksiku.

“Aku telah mencarinya selama hampir 5 tahun.” Ucapku kepadanya.

Sampailah kami di tempat konser berlangsung, kami ragu-ragu untuk mendekat karena disitu sepertinya tidak ada orang yang berdandan modis seperti kami. Kami berdua akhirnya hanya duduk di pinggir tukang rokok sambil tetap memperhatikan setiap orang yang lewat. Kami berada di dekat pintu keluar jadi jika ada orang yang keluar dari area konser, kami pasti akan melihatnya. 

Lama sekali kami menunggu, suara berisik music punk terus kami dengar seiring dengan degup jantungku yang bertambah kencang setiap kali ada orang yang keluar area konser. Berkali-kali kami kecewa. Hari sudah menjelang sore tapi konser itu tetap berlangsung walau telah banyak penonton yang pergi. Aku akan bertahan. Dengan sabar Lia menemaniku, dia terus berkata bahwa aku gila tapi dia juga kagum dengan tekadku.

Tiba-tiba aku seperti mati rasa begitu melihat sosok seorang pria dengan baju kumal berlengan terbuka sampai pinggang dan rambut yang hanya tumbuh di tengah-tengah kepalanya. Pria itu berjalan sendirian. Aku tarik tangan Lia dan menunjuk ke arah pria itu.

“Itu dia!” seru Lia. Aku tak sanggup bergerak karena itu memang dia, pengeranku yang telah aku cari selama hampir 5 tahun ini. Pangeran dunia dongengku yang tak pernah luput seharipun dari ingatanku. Pangeran itu telah berubah wujud tetapi aku tetap mengenalinya.
Perlahan aku beranjak dari tempatku duduk dan berjalan ke arahnya. Kukumpulkan seluruh keberanianku untuk menemuinya, dia sudah ada di depan mataku, tak akan aku sia-siakan kesempatan ini. Dengan suara gemetar aku panggil namanya.

“Mas Dika!” teriakku, tapi yang kudengar hanya bisikan. Kembali aku panggil namanya.
“Mas Dika!”Kali ini dia menoleh, dia celingak celinguk mencari siapa yang memanggil. Aku lambaikan tanganku dan dia akhirnya memandangku. Seluruh kenangan tentangnya melintas di pikiranku.
“Lo manggil gue? Salah orang lo…”
“Tapi kamu Dika kan?” tanyaku ketakutan.
“Bukan, nama gue Dicky, bukan Dika.” Jawabnya mengejutkanku. Kemudian dia melengos dan beranjak pergi meninggalkanku. Aku berlari mengejarnya.
“Mas, tunggu! Aku mau nanya sesuatu..!” teriakku.
Dia berhenti dan menoleh dengan sebal kepadaku.
“Udah dibilang lo salah orang!” bentaknya.
“Tunggu dulu mas, aku pernah kenal orang yang mirip sekali dengan mas waktu aku masih SMA. Dia jaga warnet di dekat kantor pos di Slawi Tegal. Itu mas kan?” tanyaku hati-hati.

Ekspresi terkejut ditunjukkannya begitu aku selesai bertanya. Aku terus memperhatikannya dan semakin yakin bahwa pria ini memang pangeranku.
“Jangan ngarang deh, dari lair gue udah di Jakarta, ngapain juga gue ke Tegal? Mau buka warteg?”

Aku melongo.
“Lama-lama lo nyebelin juga ya, buang-buang waktu gue aja. Pergi sana lo, gue bukan temen lo yang jaga warnet itu!” bentaknya dan bergegas meninggalkanku.
Aku terdiam saking kagetnya. Suaranya, matanya, garis wajahnya, semua sama. Bagaimana mungkin dia berkata bahwa dia bukan Dika? Aku hampir menangis. Kemudian aku berlari mengejarnya. Aku yakin itu dia, tidak mungkin salah. 

Aku tarik tangannya begitu aku berhasil berada di belakangnya.

“Tahu nggak mas, aku adalah Intan. Cewek yang tiap sore datang ke warnet tempat mas bekerja waktu itu. Aku telah mencari mas selama hampir 5 tahun ini, mas pergi di saat aku sakit hati karena melihat mas sedang berdua dengan cewek di meja operator. Sejak itu aku berhenti datang ke warnet, tapi dua minggu kemudian aku datang lagi, mas sudah tidak ada. Ada yang bilang kalau mas pergi ke Jakarta untuk bekerja. Sejak hari itu sampai sekarang aku tak berhenti mencarimu.” Jelasku panjang lebar sambil menahan tangis.

Dia melihatku dengan bingung, tetapi sorot matanya memperlihatkan kalau dia mengingatku.
“Hmm… Gue nggak pernah kerja jaga warnet tuh, apalagi di Tegal. Lo…. Salah orang, ngerti?” Dia menatap mataku tajam dan berkata pelan seolah-olah ingin aku percaya ucapannya.
“Tidak mungkin!”
“Gue bukan orang yang lo cari selama hampir 5 tahun, lagian kayak gak ada kerjaan aja nyariin orang yang gak jelas gitu.” Seringai mengejek muncul di wajahnya. Hatiku sakit.
“Oke mas, mungkin memang mas bukan orang yang aku cari, tapi aku ingin memberikan sesuatu kepada mas.” Kukeluarkan buku gambar kumalku, dan kuserahkan kepadanya. Tak lupa aku tuliskan nomor ponselku di situ. Dengan mantap kuserahkan buku gambar itu kepadanya.

“Lo becanda?” tanyanya sambil terbahak.
“Tolong terima saja.” Ucapku memelas.
“Hmm… Oke. Mungkin bisa jadi bungkus gorengan kalau gue lapar. Hahaha….” Kemudian dia berlalu dari hadapanku dan malam pun menyelimuti.

Sejak kejadian itu, sedikit demi sedikit aku mulai melupakan sosok Dika. Aku tak mau mengingat-ingat pertemuanku dengannya di Ancol saat itu. Aku telah bertekad untuk membuang kenangannya jauh-jauh. Aku akan hidup dengan lembaran baru tanpa bayangan Dika. Pangeran sempurna yang selama ini memenuhi dunia khayalku.

Aku jalani hari-hariku dengan normal, dan tersadarlah aku ternyata banyak pria mempesona yang berniat dekat denganku. Selama ini aku selalu menutup mata, aku tak ingin merusak kesakralan cintaku kepada sosok Dika. Tapi saat ini, aku tengah dekat dengan dua pria sekaligus. Tapi semua hanya aku anggap sebagai teman karena belum ada yang berhasil menarik hatiku.

Aku tengah berada di perpustakaan mencari buku referensi untuk tugas manajemen keuangan menengah ketika ponselku bergetar dan nomor tidak dikenal tampak di layarnya. Aku sentuh tombol berwarna hijau dan aku jawab telepon itu dengan ragu-ragu.

“Halo?”
“Halo, ini benar Intan?” tanya suara di seberang sana. Seketika jantungku berhenti berdetak, aku mengenal suara itu.
“Iya benar, ini siapa?” tanyaku dengan perasaan tak karuan.
“Ini gue Dicky, gue pengen ketemu lo nih, dimana bisanya?” jawabnya cuek.
“Oh! Mas Dika?” tanyaku spontan saking senangnya.
“Dicky bego! Dimana kita bisa ketemu? Buruan nih, pulsa gue mau abis!”
“Emmm…. Di kampus aku aja di UI.”
“Buset! Jauh amat!! Em… tapi gapapa deh, sekalian gue mau maen ke temen gue di Depok.”
“Besok jam satu siang gue tunggu di depan” lanjutnya.
“Oke, tar aku telepon lagi aja.” Jawabku girang.
“Ya.” Telepon langsung mati. Tinggal aku yang terdiam di tengah-tengah lorong perpustakaan.


Jam satu kurang seperempat aku sudah menunggu di bangku taman dekat pintu gerbang. Aku sangat senang, dan terus menebak-nebak ada apa gerangan pangeranku ingin menemuiku. Jam satu tepat belum ada telepon darinya, aku kehausan. Aku coba telepon tapi nomornya tidak aktif. Hatiku jadi tidak karuan. 

Seketika aku merasa lapar. Aku memang akan melahap apapun jika merasa cemas, kali ini aku berlari ke pedagang siomay di pinggir jalan masuk kampusku dan memakan siomay dengan lahapnya. Tiba-tiba tampak sosok nyentrik turun dari bis yang melintas di depanku. Dia berhenti agak jauh dari tempatku makan siomay. Hati ini melonjak saking senangnya. Buru-buru aku membayar dan berlari ke arah pria nyentrik itu, saat itu dia sedang celingukan.   

“Mas!” panggilku.
Dia menengok dan menghampiriku. Dia terlihat agak bersih walau masih dengan dandanan khas anak punk, kali ini rambutnya tidak dibuat jigrak. Memakai T-shirt hitam, celana ketat berwarna hitam pudar, dan tas pinggang kecil berwarna hitam pula. Dia tetap tampan.
“Sory, hape gue batrenya abis.” Lapornya begitu kami sudah berhadapan.
“Oh… Pantes tadi aku telepon nggak aktif. Udah makan belum?” tanyaku tulus.
Dia garuk-garuk kepala sambil cengengesan. Aku tersenyum dan menebak pasti dia belum makan.
“Ayo makan dulu, ada siomay enak di sebelah sana.” Kataku sambil menunjuk ke arah pedagang siomay yang tadi aku sambangi.

Dia makan dengan lahapnya, aku hanya memperhatikan setiap gerakannya dengan rasa penasaran. Apa benar dia bukan Dika yang selama ini memenuhi ruang khayalku? Aku sangat yakin itu dia.

 Setelah selesai makan, kami duduk di bangku taman di dekat pintu gerbang. Awalnya kami sama-sama terdiam. Kemudian dia membuka tas pinggangnya dan mengeluarkan benda lusuh yang sangat aku kenal. Buku gambar itu dia serahkan kepadaku. Aku menerimanya dengan wajah penuh tanya, kemudian aku periksa barangkali ada halaman yang telah dijadikan bungkus gorengan olehnya. Tetapi semuanya masih utuh.

“Gue nggak berhak nerima buku itu.” Ucapnya.
“Kenapa? Aku sudah menyerahkan buku ini buat mas, terserah mau mas apakan.”
“Gue nggak tega. Lo jago gambar. Sayang kalau buku sebagus itu jatuh ke tangan gue yang nggak bertanggungjawab.”

Aku tarik nafasku dalam-dalam. Buku ini memang sangat berharga.
“Hmm…. Buku ini memang sangat berharga bagiku. Aku buat sketsa ini sewaktu aku masih SMA, tiap mau tidur aku selalu sempetin nggambar. Aku sangat mengagumi orang itu, memang aku nggak kenal dengan dia tapi tiap hari dia nggak pernah luput dari pikiranku. Dia pengeran khayalanku. Hehe… Lucu yah? Aku seperti anak kecil yang terhipnotis cerita pangeran impian di dongeng-dongeng.” Ceritaku meluncur dengan ringannya. Dia hanya terdiam mendengarku, sesekali menoleh ke arahku seolah-olah memastikan apakah aku sedang bercanda atau tidak.

“Tahu nggak mas? Sejak pertemuan kita di Ancol waktu itu, aku sudah melepas dia pergi. Aku telah berhasil menemukannya, dan bebanku telah terangkat. Aku sudah berhasil mengungkapkan perasaan terdalamku.” Lanjutku dengan mantap, aku tersenyum ke arahnya. Dia kebingungan.

“Perasaan terdalam lo? Tapi lo kan salah orang, gimana bisa lo bilang udah berhasil nemuin dia?” tanyanya dengan penasaran.

Aku tetap tersenyum memandangnya, aku pandang matanya dalam-dalam. Mencari bukti bahwa pria yang ada di depanku ini adalah benar Dika.
“Apapun yang mas katakan, aku tetap percaya bahwa cowok ini adalah Dika.” Ucapku sambil memegang tangannya erat. Kami saling bertatapan agak lama. Ada sinar sendu yang tampak di matanya. Aku semakin yakin.

“Sebenernya, gue tahu siapa Dika.” Ungkapnya sambil melepas pegangan tanganku pelan. Aku terlonjak mendengarnya.
“Ehm… Dika itu… Saudara kembar gue.” Sambil melengos dia berkata.
“Apa?” tanyaku kaget sekali.
“Iya, Dika itu saudara kembar gue. Gue ikut bokap di Jakarta, sementara dia ikut nyokap di Tegal, bokap nyokap  cerai.” Dia terus melengos ketika bercerita.
Aku tarik bahunya sehingga menghadap ke arahku. Aku kaget sendiri dengan keberanianku berbuat seperti itu.

“Nggak mungkin, aku nggak percaya.” Ucapku hampir menangis. Dia mendengus sebal.
“Kalau memang benar, sekarang Dika ada dimana?” tanyaku dengan gusar.
“Dia udah mati.” Jawabnya pendek.

Seketika tubuhku lemas, aku tak sanggup berkata-kata. Aku hanya terdiam menahan segala emosi di hatiku. aku nggak percaya, aku nggak percaya. Kata-kata itu aku gumamkan berkali-kali. Air mata telah mengalir dengan derasnya di pipiku. Sekali lagi aku nggak percaya, dia pasti berbohong.

Tiba-tiba dia menyodorkan sapu tangan, tepatnya sebuah slayer kepadaku. Aku terima dan kulampiaskan kekesalanku kepada slayer itu. Aku remas-remas slayer itu, aku marah, aku kecewa, aku sedih.

“Mas, tatap mataku dan katakan kalau yang mas bilang tadi adalah benar.  Dan ceritakan bagaimana Dika meninggal.” Desakku sambil meremas bahunya.

Dia menatapku dengan mata sendu yang dibuat-buat, dia tetap acuh. Ingin kutampar muka itu! Ingin kupaksa dia untuk mengaku bahwa dia sebenarnya adalah Dika, aku tidak percaya cerita tentang saudara kembar itu.

Kemudian dia bercerita dengan muka yang tetap dibuang, terkadang juga suaranya tidak terdengar olehku. Ceritanya berbelit-belit. Intinya Dika meninggal karena sakit lever.
“Lo harus percaya sama gue, buku itu buat Dika kan? Jadi mending gue balikin aja.”
“Terus makamnya ada dimana?” tanyaku lemas.
“Di Tegal. Kalau mau, tar gue anter lo kesana.”  

Pertemuan siang itu akhirnya berakhir. Dia meninggalkanku dengan sebelumnya menatap mataku agak lama. Mata itu milik pangeranku, milik pangeranku. Pangeranku belum mati.

Dua minggu berselang dari pertemuan itu, aku menghubunginya dan menanyakan apakah dia bisa mengantarku ke Tegal atau tidak. Dia mengiyakan dan kami berjanji untuk bertemu di terminal Lebak Bulus.

Perjalanan selama 8 jam kami lalui dengan sunyi, dia lebih banyak memejamkan mata, entah tertidur atau hanya pura-pura tidur. Sedangkan aku sama sekali tidak bisa tidur. Bayangan makam dan nisan bertuliskan Andika menghantuiku sepanjang perjalanan. Aku akan langsung ke makam begitu sampai di Tegal. Buku ini aku bawa, akan aku serahkan kepadanya meskipun dia sudah tiada.

Kutengok pria di sebelahku yang sedang terpejam, siapa sebenarnya orang ini? Aku sama sekali tidak percaya ceritanya sampai aku benar-benar menemukan makam Dika. Garis wajahnya sama persis, bedanya adalah sekarang kulitnya menjadi agak hitam, kulit putih bersih yang dulu menjadi ciri khasnya telah pudar.

Sampailah kami di Tegal, melanjutkan perjalanan dengan angkot adalah kegiatan yang kami lakukan setelah terlebih dahulu mengisi perut di rumah makan Padang. 

Kami bergerak menuju sebuah desa yang belum pernah aku datangi sebelumnya. Desa di daerah timur kabupaten Tegal itu sangat asri, masih banyak lahan yang berupa pekarangan luas. Jalan menanjak itu menjadikan angkot yang kami tumpangi meraung keras. Tak lama kemudian kembaran Dika meminta sopir untuk berhenti. 

Kami turun di pinggir tanah luas yang banyak sekali pohon tingginya. Disitu tidak ada rumah satupun. Aku jadi sedikit kuatir.
“Mana makamnya?” aku bertanya karena tidak kutemukan deretan nisan di sekeliling kami.
“Ayo ikut aja.” Ajak nya sambil melangkah ke dalam area pepohonan itu lebih jauh.

Berjalan kurang lebih lima menit, melewati deretan pohon tinggi. Angin semilir menerpa wajahku, segar sekali. Aku bahkan lupa telah melakukan perjalanan selama kurang lebih 8 jam dari Jakarta. Pria di depanku berjalan pasti tanpa menoleh. Tiba-tiba dia menghentikan langkahnya. Kami berdua berada di tempat tertinggi dari tanah ini, sehingga kami bisa melihat sekeliling dengan jelas. Pemandangan yang ada di depan mataku ini sangat indah.

Kurentangkan tanganku lebar-lebar, ku hirup udara yang bersih ini dalam-dalam, dan kupejamkan mataku. Terlintas rasa bahagia yang tidak dapat aku jelaskan, aku merasa akan menemukan kebahagiaan hari ini, di tempat ini.

“Lo nggak nanya lagi dimana makam Dika? Biasanya lo cerewet?” tanya pria itu mengagetkanku.
“Ehm… Aku nggak akan terlalu banyak bertanya kali ini. Aku hanya butuh bukti.”
Tiba-tiba tanganku di genggam olehnya, kami berdiri berhadapan saling menatap. Jantungku berdetak lebih cepat, aku gugup sekali waktu itu.

“Intan, Dika memang sudah mati. Tapi bukan karena sakit lever. Dia mati karena rasa kecewa yang nggak bisa diterimanya. Orang tuanya bercerai saat dia sedang mencari jati diri. Dia marah sekali sama ayahnya yang telah berkhianat pada ibunya.” Berkata pria itu dengan lirih tapi jelas. Selanjutnya dia menarik nafas dalam-dalam. Aku tak sabar menunggu kelanjutan kata-katanya.

“ Terus nggak lama, ayahnya meninggal karena sakit jantung. Dia tambah kecewa. Akhirnya, lahirlah Dicky. Dia adalah orang yang menggantikan sosok Dika, sosok Dika sudah mati. Tidak ada lagi Dika yang lembut, Dika yang baik hati. Yang ada sekarang adalah Dicky yang urakan, yang berbuat semaunya sendiri. Lo paham kan?” tanyanya dengan sungguh-sungguh, dia menatap mataku dalam. Genggaman tangannya semakin kuat.

“Kamu adalah Dika, yang berubah nama menjadi Dicky.” Ucapku lirih. Air mata sudah menggenang di pelupuk mataku.

“Iya….” Jawabnya pelan.

Seketika aku langsung memeluknya, aku peluk erat sekali, aku menemukan pangeranku! Hatiku serasa akan meledak saking bahagianya. Firasatku ternyata benar, Dika belum mati.

Kami saling melepas pelukan setelah tangisku mulai mereda. Aku genggam tangan pangeranku itu dengan kuat. Sebutir air bening mengalir di pipinya. Dia buru-buru mengusapnya, kemudian aku usap air mata yang turun satu-satu di pipinya, aku mengusapnya dengan senyum bahagia. Kami berdua akhirnya terisak sambil sesekali tertawa bahagia.

“Gue nggak pernah nyangka ada orang yang sampai begitu dalam nyimpen perasaan sama gue kayak yang lo lakuin. 5 tahun bukan waktu yang sebentar. Gila ya lo?” tanya pangeranku sambil memencet hidungku pelan. Aku tertawa karenanya.

“Hm…. Menyimpan perasaan seperti ini kadang memang membuatku gila. Tapi aku menyukainya. Hehe…” jawabku ngeles.
Kami duduk di bawah pohon rindang, menikmati sore yang sejuk, tak henti-hentinya kami bertukar cerita, tertawa bersama. Sore itu kami lewati dengan bahagia, tangan kami tak pernah saling melepas. Aku tak  ingin melepas pangeranku lagi. Tak akan. Tak akan…..

Siapapun yang pandai meramal, sepandai apapun orang itu, tidak akan ada yang bisa menolak kuasa Tuhan. Sebaik apapun sifat seseorang dilihat dari ciri-ciri fisiknya, ternyata itu semua hanya perhiasan semata. Tidak ada yang akan bisa menebak dalamnya hati seseorang. Sekuat apapun sosok Dika, ternyata dia hanyalah manusia biasa. Dia terjatuh atau bisa dibilang menjatuhkan diri dengan sengaja ke dunia yang tidak pernah terpikirkan olehnya.

Tapi setiap orang berhak mendapatkan kesempatan kedua, Dika sedang mencoba meraihnya. Dia bersamaku sekarang, menjalani hari dengan penuh kejutan. Kami menjadikan setiap hari yang kami lalui seperti lembaran buku cerita dongeng.

Stigmatized selesai, kulanjutkan dengan Thank You..



(Stigmatized dan Thank You adalah judul lagu dari band The Calling dalam album Camino Palmero)

No comments:

Post a Comment